Perjamuan Kudus dan Kerinduan Akan Kesatuan Gereja

Setiap kali aku berdiri dalam keheningan menjelang Perayaan Ekaristi, hatiku selalu dihampiri rasa haru. Aku menyaksikan umat dari berbagai usia, sebagian melangkah dengan mantap menuju altar, sebagian lainnya tetap diam, berlutut dalam doa. Di sana, di meja Tuhan, kami menerima Tubuh dan Darah Kristus, misteri agung yang menjadi pusat iman Katolik.

Di balik kekhidmatan itu, tersembunyi luka yang telah lama belum tersembuhkan: luka perpecahan dalam tubuh Kristus, tubuh gereja yang seharusnya satu. Luka yang terasa makin dalam ketika aku menyadari bahwa saudara-saudari Kristiani dari gereja lain tidak bisa turut serta di meja yang sama.

Sebagai seorang Katolik, aku percaya bahwa Ekaristi adalah sakramen yang tak sekadar simbol, melainkan sungguh-sungguh kehadiran Kristus dalam rupa roti dan anggur. Namun keyakinan ini, justru menjadi pembatas dalam relasi dengan saudara-saudari Protestan atau Ortodoks.

Mereka tak diundang untuk menerima komuni dalam Misa Katolik, kecuali dalam kondisi sangat khusus. Begitu pula, umat Katolik tidak diperkenankan mengambil bagian dalam perjamuan kudus di gereja-gereja lain. Ketentuan ini, meski berakar dari penafsiran teologis yang mendalam, menciptakan dinding yang menghalangi kesatuan spiritual yang selama ini didoakan bersama.

Aku teringat sebuah pertemuan ekumenis beberapa tahun silam. Kami berkumpul dalam sebuah doa lintas denominasi, membacakan Mazmur, mendengarkan sabda, bernyanyi bersama. Saat itu aku merasakan kehadiran Roh Kudus di tengah-tengah kami, tidak peduli apakah kami Katolik, Kristen Injili, Baptis, atau Pentakostal.

Ketika tiba pada bagian "perjamuan bersama", ada batas yang segera terasa. Roti dipotong dan anggur dituangkan, tapi hanya untuk sebagian. Aku duduk diam, seperti juga mereka yang tak termasuk dalam komunitas penyelenggara. Wajah-wajah kami saling berpandangan dalam pengertian yang hening: kami mengasihi Kristus yang sama, namun kami belum dapat menyambut-Nya dalam roti yang sama.

Perpisahan ini bukan semata karena kesombongan historis, melainkan hasil dari rentetan sejarah panjang yang penuh luka: Konsili Trente, Reformasi Protestan, perpecahan Timur dan Barat. Di balik semua perbedaan teologis itu, ada juga ego, kuasa, dan prasangka yang diwariskan. Di zaman sekarang, ketika dunia semakin saling terhubung dan kebutuhan akan kesatuan iman menjadi semakin mendesak, perpecahan ini terasa seperti beban yang tak seharusnya kita teruskan begitu saja.

Pertanyaannya bukan lagi sekadar siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi apakah kita masih mampu melihat wajah Kristus dalam diri saudara yang berbeda denominasi? Apakah kasih yang kita wartakan setiap minggu, yang kita ucapkan dalam doa-doa liturgis, benar-benar mencakup mereka yang duduk di gereja lain, menyanyikan lagu pujian dalam gaya berbeda, namun memanggil nama Yesus yang sama?

Aku pernah berbincang lama dengan seorang sahabat Protestan. Kami membicarakan iman, panggilan hidup, dan kebingungan rohani. Ketika kutanya apa arti Perjamuan Kudus baginya, ia menjawab dengan mata berbinar: "Itu saat terdekatku dengan Tuhan. Saat aku benar-benar merasa diampuni, diangkat, dan diberi kekuatan." Aku hanya bisa mengangguk, karena jawaban itu sama seperti yang sering kurasakan saat menerima Ekaristi. Mungkin kami berbeda dalam memahami bagaimana Kristus hadir, tetapi kami sama dalam menyadari bahwa Ia hadir dan menguatkan. Lalu mengapa kami tak bisa duduk di meja yang sama?

Paus Fransiskus dalam beberapa kesempatan telah membuka ruang harapan. Dalam banyak pidato dan tindakan simboliknya, ia menunjukkan bahwa jalan menuju kesatuan adalah jalan dialog, kerendahan hati, dan keterbukaan hati. Ia pernah berkata, "Persatuan tidak berarti keseragaman, tetapi harmoni dalam keberagaman." Kata-kata itu meneguhkan, namun juga menyentil. Apakah kita sungguh sudah siap untuk hidup dalam harmoni, atau masih terjebak dalam identitas sektarian yang kita jaga terlalu erat?

Kesatuan bukanlah proyek teologis semata. Ia adalah kerinduan manusiawi yang lahir dari cinta akan Kristus. Setiap kali kita memecah roti dalam liturgi, bukankah kita juga sedang dipanggil untuk memecahkan tembok yang memisahkan kita? Ketika Yesus berkata, "Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku," Ia tidak berkata, "Lakukanlah ini sebagai milik golonganmu." Perjamuan Kudus adalah perintah cinta, bukan monopoli doktrin.

Di sinilah peran kita sebagai umat Katolik menjadi penting: bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk menjadi jembatan. Kita bisa memulai dari hal sederhana: berdoa bersama saudara Kristen lain tanpa curiga, membaca Alkitab bersama, terlibat dalam aksi sosial lintas gereja, atau bahkan sekadar saling mendengarkan kisah iman. Dalam banyak peristiwa krisis, apakah itu bencana alam, pandemi, ketidakadilan sosial, gereja-gereja Kristen sering bahu-membahu, tanpa menanyakan denominasi. Di situlah Kristus hadir, di tengah kasih yang diwujudkan, bukan hanya diucapkan.

Aku percaya bahwa suatu hari nanti, entah di dunia ini atau dalam kekekalan, kita semua akan duduk di meja yang sama. Tak ada lagi pembatas doktrin, tak ada lagi kursi kosong karena "aturan gereja". Hanya ada satu tubuh, satu roti, satu Tuhan. Sementara hari itu belum tiba, mungkin kita bisa mulai dengan membangun "meja-meja kecil" di dunia ini; meja pertemanan, meja pengampunan, meja kerja sama, meja doa bersama.

Mungkin memang belum saatnya kita menerima roti dan anggur dalam ritus yang sama. Tapi kita bisa mulai dengan membagi roti kehidupan: senyum, sapaan, solidaritas, dan pengakuan bahwa saudara kita, meski berbeda gereja, tetaplah bagian dari tubuh Kristus yang sama. Dan bukankah itu juga sebuah bentuk komuni?

Ketika aku menatap altar dan imam mengangkat hosti sambil berkata, "Inilah Anak Domba Allah," aku memejamkan mata dan dalam hati menggumam: "Ya Tuhan, satukanlah kami yang telah lama terpisah. Biarkanlah kami semua, yang mengasihi-Mu dan merindukan-Mu, suatu hari bisa menyambut-Mu dalam satu perjamuan yang tak lagi membedakan siapa dari gereja mana. Biarlah cinta-Mu yang menyatukan kami, lebih kuat dari doktrin yang memisahkan."

Iman Katolik mengajarkan bahwa Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup Kristiani. Tapi aku percaya, puncak sejati dari Ekaristi bukanlah ketika kita menerimanya untuk diri sendiri, melainkan ketika kita menjadi roti yang dipecah dan dibagikan bagi dunia. Ketika kita menjadi tubuh Kristus yang hidup, yang tak mengenal batas denominasi, melainkan hanya mengenal kasih.

Selama kita masih rindu akan persaudaraan, selama kita masih berharap akan hari ketika semua orang percaya bisa duduk di meja yang sama, berarti Roh Kudus masih bekerja di dalam gereja-Nya. Kita hanya perlu terus membuka hati, dan berjalan bersama dalam iman, harapan, dan kasih. Karena Kristus yang kita sambut dalam Ekaristi, adalah Kristus yang juga hadir dalam setiap saudara yang kita peluk meski berbeda jalan pulang. Dan dalam pelukan itulah, perjamuan kudus yang sejati sesungguhnya dimulai.

Tentang penulis
T.H. Hari Sucahyo
Umat Gereja Santo Athanasius Agung Karangpanas
Pegiat di Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kevikepan Semarang

Gabung dalam percakapan