Sebagai seorang Katolik, saya sering merenungkan harta kekayaan rohani yang kita miliki, yaitu iman yang diwariskan dari para Rasul. Pada saat yang sama, hati saya selalu tergerak oleh semangat ekumenisme, kerinduan akan persatuan semua yang percaya kepada Kristus.
Dalam dialog dengan saudara-saudari kita dari tradisi Kristen Protestan dan lainnya, dua pasang konsep teologis sering muncul sebagai pusat perbedaan, sekaligus sebagai titik tolak permenungan yang mendalam: Kitab Suci versus Tradisi dan Magisterium, serta iman saja (sola fide) versus iman yang bekerja dalam kasih.
Ketika kita mendekati perbedaan-perbedaan ini bukan sebagai tembok pemisah, melainkan sebagai dialektika yang memperkaya, kita dapat melihat kekristenan dalam gambaran yang lebih besar dan penuh harapan.
Salah satu pilar utama dari Reformasi Protestan adalah Sola Scriptura, atau "Kitab Suci Saja." Prinsip ini secara tegas menyatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber otoritas iman dan praktik bagi umat Kristen. Ini adalah penekanan yang luar biasa pada keunikan Sabda Tuhan yang tertulis, sebuah pengakuan yang membuat Kitab Suci menjadi panduan hidup yang tak tergantikan.
Bagi mereka yang memeluk prinsip ini, kemurnian ajaran Kristus dijamin dengan kembali langsung pada teks Alkitab, tanpa dimediasi atau disaring oleh otoritas gerejawi yang lain. Keindahan dari Sola Scriptura adalah tantangannya kepada setiap orang beriman untuk membaca, merenungkan, dan menafsirkan Sabda Tuhan secara pribadi, menjadikan Alkitab hidup dan relevan. Ini adalah panggilan untuk menjalin hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan melalui Firman-Nya.
Di sisi lain, Gereja Katolik memegang teguh pada kesatuan tiga serangkai: Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium (Otoritas Mengajar Gereja). Sementara Kitab Suci dihormati sebagai Sabda Allah yang diilhami dan menjadi jiwa dari teologi, Gereja Katolik berpendapat bahwa Sabda Allah tidak hanya disampaikan dalam bentuk tertulis (Kitab Suci), tetapi juga secara lisan dari para Rasul (Tradisi Suci).
Tradisi ini, yang mencakup praktik liturgi, ajaran para Bapa Gereja, dan Konsili-Konsili, dipandang sebagai bingkai hidup tempat Kitab Suci lahir dan diinterpretasikan secara otentik. Magisterium yang terdiri dari Paus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya bertugas untuk menjaga, menafsirkan, dan mengajarkan deposit iman ini, memastikan bahwa ajaran Gereja tetap setia pada pewahyuan Kristus dari abad ke abad.
Dalam pandangan Katolik, ketiga elemen ini saling terkait: Tradisi menerima Kitab Suci, Magisterium melayaninya, dan Roh Kudus membimbing semuanya. Kerinduan di balik ajaran ini adalah jaminan kepastian ajaran, agar tidak setiap orang menafsirkan Alkitab sekehendak hati yang bisa memecah belah umat.
Jika kita melihat perdebatan ini dari sudut pandang ekumenis, kita dapat menemukan titik temu yang konstruktif. Kita semua setuju bahwa Kitab Suci adalah standar tertinggi dan tidak ada ajaran Kristen sejati yang boleh bertentangan dengannya.
Umat Katolik menghargai semangat Protestan yang menempatkan Kitab Suci di tangan setiap orang beriman. Sebaliknya, saudara-saudari Protestan dapat melihat bahwa "tradisi" bukanlah sekadar adat-istiadat manusia, melainkan juga proses sejarah di mana Gereja awal (termasuk kanonisasi Alkitab itu sendiri) memahami dan meneruskan ajaran Kristus.
Dialog ekumenis berusaha menemukan cara untuk saling menghargai otoritas Kitab Suci sambil menjembatani pemahaman tentang peran Tradisi sebagai konteks penerimaannya. Pasangan konsep kedua adalah mengenai keselamatan: Sola Fide versus Iman yang Bekerja dalam Kasih.
Sola Fide, yang berarti "iman saja," adalah doktrin Reformasi yang menegaskan bahwa pembenaran (menjadi benar di mata Tuhan) diterima hanya melalui iman kepada Yesus Kristus, terlepas dari perbuatan baik. Ini adalah penekanan yang kuat pada anugerah (rahmat) Allah yang murni; manusia tidak dapat "membeli" keselamatan melalui usahanya, melainkan menerimanya sebagai hadiah. Doktrin ini membawa penghiburan yang besar: keselamatan adalah karya Kristus yang sempurna, bukan usaha manusia yang cacat.
Gereja Katolik menyambut baik penekanan pada anugerah dan keutamaan iman ini. Berdasarkan ajaran dari Santo Yakobus ("Iman tanpa perbuatan adalah mati," Yak 2:17), Katolik mengajarkan bahwa keselamatan diperoleh melalui iman yang bekerja dalam kasih (fides caritate formata).
Keselamatan memang dimulai dan ditopang oleh anugerah, tetapi anugerah itu harus diterima dan diwujudkan melalui iman yang aktif dan diperkaya oleh perbuatan baik. Perbuatan baik ini bukan syarat untuk "mendapatkan" keselamatan, melainkan buah alami dari iman sejati yang telah membenarkan kita. Perbuatan baik dipandang sebagai partisipasi manusia dalam anugerah Allah.
Dalam semangat ekumenisme, kita menemukan bahwa kedua pandangan ini dapat saling melengkapi. Umat Katolik diingatkan oleh Sola Fide bahwa kita tidak boleh sombong dan harus selalu bersandar pada karya penebusan Kristus, bukan pada jasa-jasa kita. Saudara-saudari Protestan dapat diingatkan oleh ajaran Katolik bahwa iman yang sejati harus memiliki dampak transformatif pada dunia, yang diwujudkan melalui kasih yang konkret kepada sesama.
Pada dasarnya, kita semua sepakat: Kristus adalah satu-satunya sumber keselamatan. Perbedaannya terletak pada bagaimana rahmat keselamatan itu diterima dan direspons dalam hidup kita. Perbedaan-perbedaan ini dari sudut pandang seorang Katolik adalah sebuah panggilan untuk menjadi jembatan.
Ini bukan hanya tentang membandingkan doktrin, tetapi tentang mengakui bahwa di balik keragaman teologi dan praktik, kita terikat oleh satu ikatan baptisan yang tak terputus. Kita semua adalah orang Kristen, murid Kristus, yang bersama-sama mencari kebenaran dan kesucian. Ketika kita mampu menjelaskan perbedaan kita secara akurat dan hormat melihat Sola Scriptura sebagai kecintaan mendalam pada Firman, dan Sola Fide sebagai pemujaan terhadap anugerah serta mempertahankan harta kekayaan kita sendiri dalam Tradisi dan Perbuatan Kasih, kita akan membantu membangun jembatan pemahaman.
Ini adalah langkah maju menuju doa Kristus sendiri, "supaya mereka menjadi satu" (Yoh 17:21), mewujudkan Injil di tengah dunia yang terpecah. Fokus kita pada akhirnya haruslah Kristus, yang adalah sumber dari segala kebenasan dan persatuan kita.

Pegiat di Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kevikepan Semarang