Dari kejauhan, Gereja tampak seperti bangunan utuh: sebuah rumah doa, tempat umat beriman berkumpul memuliakan Tuhan. Tapi ketika kita melangkah lebih dekat, kita menyadari bahwa rumah itu ternyata terdiri dari banyak ruangan, pintu-pintu yang tak selalu terbuka satu sama lain. Ada altar yang dibangun dengan batu Katolik, ada mimbar Protestan yang penuh nyala api kotbah, dan ada pula ikon-ikon Ortodoks yang menyala sunyi dalam pelita. Semua menyembah Kristus, tapi tak semuanya duduk di meja yang sama.
Sebagai seorang Katolik, saya tumbuh dalam tradisi liturgi, sakramen, dan keheningan. Tapi hidup saya juga dikelilingi oleh saudara-saudari Kristen dari gereja lain; teman-teman yang berbicara tentang Yesus dengan cara yang berbeda, menyanyikan pujian yang lebih keras, menafsirkan Alkitab dengan semangat yang lain. Awalnya saya merasa heran: apakah ini bentuk kekayaan? Atau justru tanda bahwa tubuh Kristus telah terbelah?
Pertanyaan itu membawa saya pada ziarah kecil: memahami bagaimana kekristenan, yang seharusnya satu, justru terpecah dalam begitu banyak denominasi. Saya membaca kembali sejarah gereja, mendengarkan cerita para martir, menyimak dokumen-dokumen Konsili, dan berdialog dengan mereka yang berbeda. Semakin dalam saya menyelami, semakin saya temukan bahwa luka perpecahan bukan sekadar soal teologi; ia adalah luka relasi, luka hati, luka sejarah yang tak kunjung sembuh.
Luka itu bermula dari ketegangan antara Gereja Timur dan Barat. Pada tahun 1054, terjadilah skisma besar yang memisahkan Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur. Bukan karena satu hal besar, tetapi karena akumulasi perbedaan: tentang Filioque dalam Pengakuan Iman, otoritas paus, ritus liturgi, dan bahasa pengantar ibadah. Perbedaan itu menjadi tembok, lalu tembok itu menjadi dinding yang tak bisa ditembus selama berabad-abad.
Lalu datanglah Reformasi Protestan tahun 1517. Martin Luther, seorang biarawan Katolik, menggugat praktik indulgensi dan menyerukan kembali kepada Kitab Suci. Ia tak berniat memecah gereja, tapi percikan api itu membakar Eropa. Lahirlah Protestanisme, dan sejak itu percabangan tak lagi terhindarkan. Dari Lutheran, muncul Calvinis, lalu Baptis, kemudian Metodis, Pentakostal, Evangelikal, dan ribuan denominasi lain. Setiap pecahan membawa semangat untuk kembali kepada Kristus, tapi juga menciptakan batas-batas baru. Apa yang semula dimaksudkan sebagai pembaruan, kadang malah menjadi pembelahan.
Sebagai seorang Katolik, saya diajarkan tentang Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Tapi bagaimana mungkin kita berbicara tentang "satu" jika kenyataannya begitu banyak denominasi saling mengklaim kebenaran? Di sinilah saya menyadari bahwa “satu” bukan berarti seragam, dan kesatuan tidak harus menghapus perbedaan. Kesatuan adalah sebuah panggilan, bukan sebuah kondisi yang sudah selesai.
Saya teringat pada doa Yesus dalam Yohanes 17:21: "Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau." Itu bukan sekadar permohonan spiritual, melainkan hasrat terdalam Sang Putra agar murid-murid-Nya tidak tercerai-berai. Tapi sejarah justru menunjukkan bahwa kita gagal menjaga kesatuan itu. Kita menjadikan perbedaan sebagai benteng, bukan sebagai kekayaan. Kita lebih suka membela dogma daripada membangun pertemanan. Kita merasa suci dalam kelompok sendiri, dan mencurigai orang yang berdoa dengan cara berbeda.
Di tengah luka itu, ada juga harapan. Tahun 1964, Paus Paulus VI dan Patriark Ortodoks Athenagoras bertemu di Yerusalem, saling berpelukan dan mencabut ekskomunikasi yang sudah berlaku sejak 1054. Sebuah pelukan yang tidak hanya simbolik, tetapi profetik: bahwa rekonsiliasi mungkin, jika kita bersedia merendahkan hati. Paus Fransiskus pun melanjutkan semangat itu. Dalam banyak kesempatan, ia berdoa bersama pemimpin gereja Protestan dan Ortodoks. Ia bahkan pernah berkata: "Kita tidak harus menunggu para teolog sepakat untuk mulai berjalan bersama sebagai saudara."
Kalimat itu mengguncang saya. Sebab saya pun menyadari bahwa seringkali umat awam lebih cepat menjalin persaudaraan daripada para pemimpin gereja yang sibuk dengan dokumen dan batas dogmatik. Saya pernah menghadiri doa ekumenis saat masa Advent, di mana umat Katolik, GKI, dan GPdI duduk bersama menyalakan lilin dan menyanyikan "O Come Emmanuel". Tidak ada perdebatan teologis malam itu. Hanya ada hati yang rindu akan kedatangan Tuhan. Saya pun menangis, bukan karena sedih, tapi karena untuk sesaat, tubuh Kristus terasa utuh kembali.
Kita mungkin tidak bisa menyatukan semua denominasi secara struktural. Tapi kita bisa berjalan bersama secara spiritual. Kita bisa melayani bersama, berdialog, saling mendoakan. Kita bisa belajar dari kekayaan satu sama lain: dari Protestan kita belajar semangat penginjilan dan cinta akan firman; dari Ortodoks kita belajar keindahan liturgi dan kedalaman mistik; dari Katolik kita bawa semangat kesatuan dan tradisi apostolik yang terjaga. Kita tidak harus menjadi sama, tapi kita bisa saling melengkapi.
Persatuan bukan soal siapa yang benar atau siapa yang menang. Persatuan adalah soal siapa yang berani mencintai lebih dulu. Berani mengampuni sejarah. Berani membuka pintu gereja dan hati. Persatuan bukan tentang melebur identitas, tapi menyingkirkan ego yang membuat kita merasa paling kudus. Tubuh Kristus bukanlah tubuh yang steril, tapi tubuh yang memanggul salib luka-luka manusia. Dan luka itu hanya bisa disembuhkan dengan kasih.
Mungkin, di surga nanti, tidak akan ada papan nama "Katolik", "Lutheran", "Pentakostal", atau "Gereja Bethel". Yang ada hanyalah satu jemaat yang menyembah Anak Domba dengan pakaian putih dan daun palma di tangan. Tapi sebelum kita sampai ke sana, kita dipanggil untuk merawat persatuan itu sejak di dunia. Bukan dengan menghapus perbedaan, tapi dengan melihat Kristus yang hadir dalam perbedaan itu.
Saya bermimpi suatu hari, umat Kristen dari berbagai denominasi bisa duduk dalam satu meja, bukan untuk debat, tapi untuk makan bersama. Seperti para murid di Emaus yang baru mengenali Yesus ketika Ia memecahkan roti. Mungkin kita pun baru akan mengenali wajah Kristus yang sejati ketika kita mau berbagi roti kehidupan dalam kasih dan kerendahan hati.
Luka-luka tubuh Kristus mungkin belum seluruhnya sembuh. Tapi setiap pelukan, setiap doa bersama, setiap langkah rekonsiliasi adalah obat yang memulihkan. Dan saya percaya, di antara serpih-serpih denominasi itu, Roh Kudus sedang bekerja secara pelan, tapi pasti, menyatukan kembali Gereja-Nya yang terluka.

Pegiat di Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kevikepan Semarang