Ekumenisme: Mimpi Bersatu Umat Kristen, Masihkah Relevan?

Ekumenisme: Mimpi Bersatu Umat Kristen
Sumber gambar www.cbcew.org.uk

Kekristenan adalah sebuah mosaik yang luas, berwarna-warni, namun juga penuh retakan. Sejak peristiwa Reformasi abad ke-16, tubuh gereja yang semula satu telah terpecah menjadi ratusan bahkan ribuan denominasi. Katolik, Ortodoks, Protestan, Injili, Pentakostal, Karismatik, dan aliran-aliran kecil lainnya hidup berdampingan, namun kerap berjalan sendiri-sendiri. Dalam lanskap keberagaman ini, muncul sebuah upaya yang mencoba menjahit kembali jubah Kristus yang tercabik: ekumenisme.

Namun pertanyaannya, di tengah zaman yang makin terfragmentasi dan individualistis, apakah mimpi akan kesatuan umat Kristen masih relevan? Gerakan ekumenis sejatinya bukan ide baru. Doa Yesus dalam Yohanes 17:21 menjadi fondasi spiritual dari semangat ekumenisme: "Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau."

Harapan akan kesatuan itu menemukan momentumnya di abad ke-20, ketika luka-luka sejarah disadari sebagai penghalang besar dalam kesaksian gereja di tengah dunia. Majelis-majelis ekumenis global seperti World Council of Churches (WCC), serta upaya dialog Katolik-Protestan pasca Konsili Vatikan II, menjadi bukti bahwa kerinduan akan kesatuan tidak pernah benar-benar padam.

Di Indonesia, semangat ekumenis sempat menguat terutama pasca masa kemerdekaan. Lahirnya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) pada 1950 menjadi tonggak sejarah kolaborasi lintas denominasi. Umat Kristen bersatu dalam semangat kebangsaan dan pelayanan. Namun seiring waktu, banyak gereja besar kemudian berjalan dengan logika institusional dan ekosistem internal masing-masing.

Ketika pelayanan lintas denominasi dirasa tidak menguntungkan secara pragmatis, semangat ekumenis pun terpinggirkan. Bahkan di kota-kota besar, sering kali terjadi “kompetisi” pelayanan, di mana gereja bukan menjadi tempat persekutuan, melainkan pasar rohani yang saling bersaing dalam hal program, musik, atau khotbah. Ironisnya, fragmentasi ini kerap muncul bukan karena perbedaan teologis yang mendalam, melainkan perbedaan gaya, tradisi, bahkan preferensi budaya.

Padahal, jika kita membuka lembar demi lembar Injil, pesan utama Kristus justru berpusat pada cinta kasih, kesatuan tubuh, dan penolakan terhadap eksklusivisme agama yang sempit. Sayangnya, identitas gereja sering kali lebih lekat pada denominasi ketimbang pada kesaksian akan kasih Kristus itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, ekumenisme menjadi penting bukan hanya sebagai cita-cita spiritual, tetapi sebagai strategi sosial dan kesaksian publik.

Dunia hari ini tidak butuh gereja yang saling mengkritik secara terbuka atau membanggakan keaslian doktrin masing-masing, melainkan gereja yang menjadi suara moral kolektif di tengah krisis. Ketika umat Kristen terpecah dalam kubu teologis, label-label denominasi menjadi tembok yang tak terlihat, dan gereja kehilangan relevansinya di mata masyarakat luas. Namun, harapan itu belum musnah.

Dalam banyak komunitas akar rumput, terutama generasi muda, kita melihat benih-benih ekumenisme baru. Tidak sedikit persekutuan doa, forum diskusi Alkitab, aksi sosial, dan gerakan lingkungan hidup yang diinisiasi lintas gereja tanpa terlalu sibuk membicarakan doktrin. Mereka lebih tertarik pada praktik kasih daripada definisi keselamatan. Mereka tidak memusingkan perbedaan tafsir Ekaristi atau baptisan, tapi lebih pada bagaimana hidup sebagai terang dan garam dunia.

Di sinilah muncul bentuk ekumenisme baru yang tidak sekadar menunggu seruan dari lembaga gereja tingkat atas, tetapi tumbuh dari kebutuhan hidup bersama. Misalnya, ketika terjadi bencana alam di Indonesia, banyak umat Kristen dari berbagai denominasi yang turun tangan bersama. Tak peduli apakah mereka dari GPIB, HKBP, GKI, GPdI, Katolik, atau komunitas independen, yang penting adalah bersama-sama menjadi saksi kasih Tuhan bagi para korban. Ini adalah bentuk ekumenisme praksis yang sering luput dari radar teologis, namun sangat nyata dampaknya.

Meski demikian, upaya ke arah kesatuan ini tetap menghadapi tantangan serius. Masih banyak gereja yang membatasi mimbar hanya untuk denominasi sendiri. Masih ada seminar dan pelatihan yang mengharuskan peserta "seiman" dalam definisi sempit. Bahkan dalam pelayanan media sosial pun, tak jarang muncul konten-konten yang menyudutkan atau mempertanyakan keselamatan dari denominasi lain.

Dalam ruang seperti ini, semangat ekumenis terasa seperti suara kecil yang berusaha bertahan di tengah riuhnya ego teologis. Padahal jika kita kembali pada ajaran dasar Kekristenan, keselamatan tidak diwarisi oleh nama gereja, melainkan oleh iman yang hidup dan kasih yang nyata. Paulus menulis dalam 1 Korintus 12 bahwa tubuh Kristus terdiri dari banyak anggota yang berbeda-beda, namun semuanya penting dan saling membutuhkan.

Gambar tubuh ini bukan hanya metafora spiritual, melainkan juga arah pastoral. Bahwa gereja tidak diminta untuk seragam, tetapi untuk saling melengkapi. Ekumenisme yang relevan hari ini bukanlah penyatuan institusi, melainkan persaudaraan iman yang saling menghargai. Kita mungkin tidak bisa menyatukan semua hal, namun kita bisa berjalan bersama. Ekumenisme bukan tentang menyeragamkan ibadah, melainkan tentang menghadirkan Kristus yang sama di tengah dunia yang terpecah.

Dalam konteks Indonesia yang majemuk dan penuh tantangan kebangsaan, suara bersama gereja bisa menjadi kekuatan moral yang menginspirasi masyarakat luas. Tapi suara bersama itu hanya mungkin muncul jika kita bersedia mendengar, saling belajar, dan menurunkan ego masing-masing. Lebih dari itu, ekumenisme juga menawarkan harapan spiritual di tengah dunia yang mengalami kelelahan rohani.

Banyak orang muda Kristen hari ini merasa jenuh dengan legalisme, fanatisme denominasi, dan eksklusivitas komunitas. Mereka mencari gereja yang ramah, terbuka, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Jika gereja-gereja mampu menanggalkan kebanggaan institusionalnya dan kembali fokus pada pelayanan kasih, maka gerakan ekumenis akan menemukan energi barunya, bukan di menara gading teologi, tapi di jalan-jalan kehidupan nyata.

Mungkin dunia belum melihat gereja bersatu dalam satu organisasi, tapi dunia bisa melihat umat Kristen bersatu dalam kasih. Dan bukankah itu yang paling penting? Ekumenisme bukanlah proyek ambisius untuk menyatukan liturgi, tapi sebuah keniscayaan rohani agar gereja tidak kehilangan wajah kemanusiaannya. Sebab hanya gereja yang bersatu dalam kasih yang bisa benar-benar menjadi tanda kehadiran Kristus di dunia yang makin terpecah.

Tentang penulis
T.H. Hari Sucahyo
Umat Gereja Santo Athanasius Agung Karangpanas
Pegiat di Komisi Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Kevikepan Semarang

Gabung dalam percakapan